Selasa, 24 Juni 2008

DARI ORDE BUAYA KE REFORMASI SRIGALA*

Drs. H. Fadlil Yani Ainusyamsi, M. Ag**

MukadimahSuatu hari, ditengah kesibukan diskusi tantang segala hal bersama murid-muridnya,Plato sempat ditanya oleh salah seorang muridnya yang bernama Glaucon, ia mengeluh mengapa Negara mereka seperti tidak habis-habisnya didera berbagai persoalan atau musibah. Dengan kalem Plato pun menjawab: "Kesulitan dan kendala hidup itu tak akan pernah putus. Ia akan terus menerus membelit negara kita. Kesulitan itu wahai anakku Glaucon, juga akan menimpa nilai kemanusiaan kita sendiri. Kesulitan itu akan hilang seiring para filsuf menjadi raja di dunia ini, atau sampai mereka yang sekarang kita sebut sebagai raja dan penguasa itu sungguh menjadi filsuf".Apa sebenarnya yang namanya sebuah bangsa itu? Menurut falsafah Cartesian yang meyakini eksistensi sebagai sebuah hasil pemikiran, maka keberadaan bangsa kita, dengan disebut sebagai bangsa Indonesia. Sebaliknya, jika kita sudah tak befikir lagi, ketika kita berhenti menyadari diri sebagai bangsa Indonesia, saat itu pula kemerdekaan kita sebagai bangsa telah terampas.Rezim pun berganti, lalu rezim yang berkuasa telah menyediakan hasil fikiran yang bisa dicomot setiap saat orang merasa perlu berfikir. Pemerintah telah menyajikan daftar jawaban, apabila masih ada orang ingin bertanya.Begitu ketatnya larangan berfikir,bertanya dan bersikap kritis, sampai-sampai pemerintah merekayasa pelbagai sistem, khususnya sistem pendidikan, agar tidak satu pun manusia baru lahir dengan kemampuan berfikir, maka anak-anak, sejak Sekolah Dasar. Telah dibiasakan dengan soal-soal pilihan ganda.Anak-anak yang hanya bisa memilih jawaban yang telah disediakan; anak-anak yang suatu saat sudah besar tidak biasa berfikir mandiri, tidak biasa bertanya. Tidak biasa bersikap kritis, yaitu anak-anak yang tidak bakal bisa merobohkan kekuasaan sang penguasa dengan perntanyaan-pertanyaan "nakal atau nyeleneh".Kalau ada larangan, tentu ada keharusan. Maka, sebagai pelengkap dari kalangan berfikir ini diciptakanlah penyeragaman makna. Orang harus mengartikan sebuah peristiwa secara seragam. Tafsir menjadi monopoli penguasa. Untuk menjalankan monopoli tersebut secara efektif. Dikuasailah seluruh sarana komunikasi. Mulai dari keharusan untuk meneruskan berita-berita dari pemerintah sampai dikuasainya saham dan manajemen perusahaan media oleh para kroni penguasa pada saat itu; (Catatan Kecil Orde Buaya)Krisis Moral, Krisis BudayaSetelah kita bercermin dari situasi diakronik (orde buaya), maka kita arahkan tukik pandang kita ke situasi sinkronik (reformasi srigala); meminjam istilah budayawan H.Setiawan Djody, adalah "reformasi bebek", dan kita bukan "bangsa kodok". Atau jika kita gabungkan istilah-istilah itu bahwa sekarang kita [sepertinya] menjadi "bangsa yang berhati serigala, berjalan kayak bebek, berkarakter kodok". Tentu istilah ini menyakitkan hati kita semua, karena siapa yang rela dan mau bangsanya sendiri disebut dengan gelar-gelar menakutkan bahkan menjijikan seperti itu. Tapi, anda jangan berfikiran negatif/emosional dulu, lha wong kita lagi mengkritisi "rumah kita" sendiri, sebagai sikap kepedulian terhadap "negeri kita", tarohlah ini semua sebagai langkah "otokritik". Tokh semuanya juga bakal balik lagi sama kita-kita.Orde Reformasi saat ini adalah jelmaan dari titik kulminasi yang tidak datang secara mendadak, melainkan sebuah krisis jangka panjang yang telah sekian lama menjadi gunung es pada tahun-tahun belakangan ini, persis seperti pepatah Perancis, "des diables viennent dans un petit pas", "hantu datangnya perlahan-lahan dengan langkah kecil-kecil". Sebab itulah hantu orde buaya beralih ke hantu yang menjadi monster kehidupan di orde reformasi ini.. Dulu segala yang tidak boleh,serba dikekang, dilarang, sekarang tidak ada lagi sekat, justru kata pepatah orang sunda "siga kuda leupas tina gedogan" bagaikan kuda liar yang lepas dari kekangannya.Bagaimana mungkin sebuah Negara yang lahir sebagai sebuah pergulatan pemikiran masyarakat beserta seluruh para pendiri (the founding father) Republik ini, hanya dalam waktu di atas 50 tahun sudah jatuh ke dalam jurang krisis moral dan budaya? Hanya dalam waktu satu generasi, warisan nilai-nilai luhur yang mestinya dikembangkan agar beradaptasi dengan situasi masa depan malah dikoyak-koyak sendiri dan lalu dikubur dalam-dalam? Salah satu penyebabnya adalah karena diinjak-injaknya hukum ketika masih berupa bayi merah. Undang-undang dasar kita jelas masih bersifat sementara, sebagaimana diutarakan sendiri oleh penyusunnya, sebuah konstitusi yang diniatkan untuk bersifat terbuka terhadap perubahan. Akan tetapi kedua Presiden pertama kita malah mensakralkan dasar Negara dan konstitusi, sambil memaknai kalimat-kalimat di dalam konstitusi dan dasar Negara itu menurut versi mereka masing-masing, bukan atas dasar pemikiran mendalam atas dasar kepentingan publik.Akibat dilindasnya hukum yang berlaku adil bagi semua, moralitas dan nilai-nilai kebenaran perlahan-lahan tergerus dan akhirnya melahirkan krisis budaya. Padahal sesungguhnya moral yang bersifat individual dan hukum yang bersifat kolektif itu adalah dua kekuatan besar yang bekerja secara dialektik. Tanpa moralitas individu, tanpa masyarakat yang berbudaya yang tegas komitmen sosialnya, maka hukum tidak bisa ditegakkan. Sebaliknya, seperti tampak jelas dalam perilaku keenam presiden Republik Indonesia dari dulu sampai sekarang, hukum hanyalah sebagai "gagasan abstrak" yang pelaksanaan dan faktanya sangat ditentukan oleh para pelaksananya, manusia yang bersifat individual, manusia yang memiliki nilai-niai moral tertentu – entah nilai-nlai yang menyimpang ataukah nilai-nilai etika dan kebenarana moral. Demikian juga seterusnya manusia individual ini tidak dilahirkan dengan moralitas. Moralitasnya tumbuh atas bentukan lingkungan budayanya, suatu proses sosial yang antara lain juga melibatkan proses hukum. Kalau hukum dimana manusia itu tumbuh kembang sudah berantakan, maka manusia itupun akan menjadi manusia dengan moralitas yang amburadul pula. Itulah dialektka moral budaya dan hukum. Tiada hukum tanpa budaya, dan tiada budaya tanpa hukum.Dialektika yang seharusnya mampu melahirkan manusia-manusia berbudaya, sebagaimana cita-cita tokoh-tokoh kita saat mendidirikan Negara ini, ternyata malah melahirkan kekacauan moral dan kekisruhan budaya. Boleh jadi, salah satu penyebabnya adalah kecenderungan masyarakat kita untuk bersikap mendua, (double standard). Dualisme telah menjadi bagian hidup kita sehari-hari, di satu pihak terutama di dalam lingkungan etnis masing-masing kita hidup dalam tatanan moral dan hukumnya dibuat secara tertulis formal oleh pemerintah.Namun sayangnya, antara tataran moral-hukum tradisional dan modern itu acapkali bersebrangan, tetapi kita lebih suka memakai tatanan informal, sehingga aturan formal itu malah menjadi barang yang tersia-sia tak berguna. Preferensi pada tatanan informal tradisional itu tentu tak lepas dari pemahaman dan penghayatan kita terhadap perilaku hukum, ekonomi dan politik yang semuanya berakar pada kebudayaan. Sebagai contoh, dalam nilai tradisional. Kita mesti hormat kepada orang yang lebih tua, sedangkan dalam aturan formal kita mesti menghormati kebenaran walau berada pada diri orang yang masih muda. Akibatnya segala peraturan dan undang-undang itu pun mengalami kendala berat dalam pelaksanaannya. Ketika pengadilan memutuskan seorang warga desa memenangkan perkara melawan seorang kerabat Gubernur/Bupati atau setingkat dengan mereka.misalnya, para pejabat tak berani mengeksekusinya karena "segan", orang jawa bilang "ewuh pakewuh" kepada Bapak Gubernur atau Bapak Bupati tadi.Dualisme tatanan moral dan hukum ini berlaku pula dalam kehidupan sehari-hari bernegara. Seluruh praktik pemerintahan seharusnya berlangsung atas dasar tatanan hukum modern, bukan berlandaskan "kesepakatan informal tradisional" ituUndang-undang hanya terpajang dirak-rak buku. Macetnya pelaksanaan hukum di Republik modern ini dan runtuhnya moralitas budaya kita antara lain akibat dualisme tatanan budaya ini. Dalam sorotan seperti ini, maka kita bisa menjelaskan mengapa seorang pejabat Negara seperti "tidak merasa bersalah" ketika melakukan penyelewengan kekuasaan, termasuk korupsi dan suap menyuap yang sudah mewabah ini. Korupsi memang melanggar hukum modern, tapi tindakan itu benar menurut tatanan moral feodal-tradisional,. Dimana seorang pengusaha mesti memberi upeti kepada pejabat, dan pejabat mesti "mengayomi" seluruh kerabatnya. Kebiasaan kroniisme dan nepotisme negative ini juga difahami dalam konteks ini, dimana seorang pejabat Negara mengangkat kerabat dan teman-temannya sebagai ungkapan terima kasih dan dukungan mereka. Maka tidaklah heran, di sebuah Negara berkembang masih banyak praktik-praktik seperti itu, karena begitulah karakter bangsa di Negara-negara berkembang. Ada sebuah adagium, "sebuah Negara jika ingin maju buanglah sikap Childish (kekanak-kanakan) dan buang juga kebiasaan sikap menipu rakyatnya"Hegemoni dan IrrasionalitasDahulu (di orde buaya) masyarakat kita sempat dilumpuhkan daya fikirnya, masyarakat seakan disihir untuk menganggap apa-apa yang dikendaki pemerintah sebagai kebenaran. Masyarakat bagaikan terbius sehingga membeo saja apa yang dikatakan oleh penguasa. Tentu saja dalam suasana hegemonik itu tidak akan terjadi proses yang oleh Paul Ricouer sebagai "saling bernarasi" tidak ada komunikasi dua arah atau model Neo Laswell. Sebagai Tidak ada dialog. Yang ada hanyalah monolog yang sangat panjang. Komunikasi berjalan dari atas ke bawah, top-down. Wacana yang melandaskan diri pada akal sehat telah dibunuh. Tidak ada antitesis yang akan melawan tesis lalu melahirkan sintesis.Sementara masyarakat yang saat ini sedang menikmati masa kebebasan dalam segala hal [sebagai ciri dari orde reformasi serigala], tipikal serigala adalah licik, dia bisa menerkam dengan lolongan suaranya yang menakutkan, kemudian mencari mangsanya saat mana orang tak siap untuk menjaga dirinya, lalu mencabik-cabik mangsanya hingga berserakan. Itulah kondisi bangsa kita saat ini,laksana sekumpulan serigala yang siap menerkam mangsanya, tidak pandang bulu siapa dan bagaimana caranya yang penting dirinya mendapat kepuasaan yang lebih itulah tipikal kejahatan.Lalu tipikal buaya, buaya biasanya bersembunyi di rawa-rawa, lalu dengan tenangnya ia mencari mangsanya tanpa diketahui darimana datangnya, tau-tau mangsanya disantap lahap tak bersisa…itulah tipikal keserakahan. Kondisi bangsa kita seakan "keluar dari mulut buaya masuk ke mulut serigala".Pada akhirnya, abnormalitas akal sehat juga menyeruak pada tataran agama, karena yang sakit adalah bukan hanya fikiran kita, namun batin kita juga tengah "sakit keras", sehingga menambah kelamnya konstatasi nilai-nilai keagamaan, malah menjadi sumir atau bias…lalu menghilang perlahan-lahan dari benak kaum cendikiawan, birokrat, pendidik, dan masyarakat pada umumnya.Saat ini tinggallah sebuah ungkapan "mengapa kita selalu begini?", dari sudut pandang sosio-religius semua itu karena kita terlalu jauh dari Sang Maha Pencipta, sehingga kita lupakan semua aturan mutlak yang sudah ditetapkan, maka nampaklah keangkuhan sosial, keserakahan dalam kekuasaan, hedonistik melanda seluruh jaringan kehidupan kita. Hanya orang-orang yang memiliki sifat tawaazun/balance/harmoni dalam hidupnya, yakni seimbang antara kebutuhan ruhani spiritual dan kebutuhan jasmaninya, mereka akan selamat dan menjadi saksi bagi ummat yang lain: Ummatan wasathan, itulah konstatasi idealitas sebuah Negara besar (NKRI).Penutup kata, harapan yang ingin dicapai adalah adanya upaya mengisi orde reformasi yang melahirkan kebijakan primer yang mengarah terhadap kepentingan masyarakat. Sehingga masyarakat dapt merasakan kesejahteraan hidup dan menikmati penegakkan supremasi hukum di negeri ini dengan terpenuhinya hak-hak sebagai warga Negara. Tujuan seperti ini menjadi tumpuan masyarakat untuk menciptakan negeri yang damai dan penuh limpahan kasih sayang dari Allah Swt.Semakin kita banyak tafakkur dan merenung atas kejadian-kejadian yang menimpa bangsa kita, tanaga, fikiran dan sumbangsih masyarakat di segala lapisan pun amat diharapkan, seiring dengan do'a-doa mustajabah al ma'tsurat yang senantiasa kita baca setiap waktu, Insya Allah akan menghantarkan kita menjadi bangsa yang berwibawa dimata dunia internasional. yang memiliki fighting spirit, demi meningkatkan kesejahteraan lahir maupun batin masyarakatnya.
Amien.Hasbunallah Wani'mal Wakiel.
-----------oooooooo------------*
Dipublikasikan pada Tabloid BIG Vol. XI, 2005.
** Dosen Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Senin, 23 Juni 2008

Kreasi Santri Darussalam pada Santri Indigo

Mulai hari Senin tanggal 23 - 24 Juni 2008 di pesantren Darussalam telah dilaksankan Pelatihan Internet kerjasama Republika dengan Telkom dengan fasilitas Speedinya.